Menelusuri Jejak Islam di Eropa Barat


Mengetahui kebesaran dan kejayaan Islam di masa lalu sungguh merupakan  kebahagiaan tersendiri. Ini bagaikan setitik embun di padang pasir nan gersang. Apalagi di saat ini dimana Islam memang sedang dalam keadaan terpuruk. Citra Islam yang berkembang atau sengaja dikembangkan di barat hanyalah citra buruknya saja.

Terorisme, kediktatoran, korupsi, kejahatan terhadap perempuan dan anak yang dilakukan sebagian orang atau negara-negara yang mengaku Muslim namun tidak bertanggung jawab terus dibesar-besarkan. Hal ini membuat kaum Muslim yang kurang teguh keimanannya makin tidak percaya diri.  Akibatnya dapat dibayangkan. Mereka ini akhirnya bukan saja enggan mentaati dan menjalankan hukum dan syariat ajarannya namun bahkan mengakui ke-Islamannyapun ragu …

Itu sebabnya saya sengaja menuliskan pengalaman saya dalam rangka mencari jejak peninggalan Islam di Eropa Barat ini. Menurut pendapat saya, tidak sepatutnya kita ‘minder’. Islam selama beberapa abad pernah berada di puncak kejayaannya. Bandingkan dengan Amerika Serikat yang baru 2 abad ini saja menguasai percaturan dunia.

Barat belakangan ini bahkan terpaksa harus mengakui bahwa berkat kekuasaan Islam di Spanyollah mereka saat ini bisa keluar dari zaman kegelapannya di abad pertengahan. Di era globalisasi ini dimana informasi dapat dengan mudah diakses, tampaknya tak mungkin lagi mereka menutup-nutupi keberadaan para ilmuwan Muslim dan berbagai penemuannya yang menginsipirasi Barat menjadi maju seperti sekarang ini.

Ibnu Musa Al-Khawarizmi (770-840 M ), penemu Algoritma dan Aljabar,  Avveroes atau Ibnu Rushdi (1126-1198 M), hakim/kadhi sekaligus  fisikawan, Ibnu Sina( 980 -1037 M ),  filsuf sekaligus  dokter kenamaan dan  Ibnu Khaldun ( 1332-1406 M), bapak sosiologi dan ekonomi dunia hanyalah segelintir diantaranya. Mereka adalah para penemu yang banyak menelurkan karya–karya tulis penting.

Kalaupun mereka ini menggunakan dasar dan referensi dari ilmuwan terdahulu, seperti ilmuwan-ilmuwan terkenal Yunani seperti Socrates, (469-399 SM), Plato (428-348 SM) dan  Aristoteles (384-322 SM) selalu mencantumkan sumbernya dalam karya mereka. Ini kebalikan dari para ilmuwan barat yang sering secara sengaja membuang sumbernya bila itu berasal dari dunia Islam.


Hebatnya lagi, para ilmuwan Muslim tersebut tidak hanya lihai dalam ilmu duniawinya saja namun juga ilmu ukhrowinya. Mereka adalah ahli ibadah yang betul-betul menguasai ajaran Islam dengan baik. Tampaknya inilah yang menjadi rahasia kesuksesan dunia Islam di masa lalu.

Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (keni`matan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan “.(QS.Al-Qashash (28):77).

Berikut pengakuan kaisar Perancis, Napoleon Bonaparte ( 1769 – 1821) : “Musa telah menerangkan adanya Tuhan kepada bangsanya, Yesus kepada dunia Romawi dan Muhammad kepada seluruh dunia…Enam abad sepeninggal Yesus bangsa Arab adalah bangsa penyembah berhala, yaitu ketika Muhammad memperkenalkan penyembahan kepada Tuhan yang disembah oleh Ibrahim, Ismail, Musa dan Isa. Sekte Arius dan sekte-sekte lainnya telah mengganggu kesentosaan Timur dengan jalan membangkit-bangkitkan persoalan tentang Tuhan Bapa, Tuhan Anak dan Roh Kudus. Muhammad mengatakan, tidak ada tuhan selain Allah yang tidak berbapa, tidak beranak dan “Trinitas” itu kemasukkan ide-ide sesat…Muhamad seorang bangsawan, ia mempersatukan semua patriot. Dalam beberapa tahun kaum Muslimin dapat menguasai separoh bola bumi… Muhammad memang seorang manusia besar. Sekiranya revolusi yang dibangkitkannya itu tidak dipersiapkan oleh keadaan, mungkin ia sudah dipandang sebagai “dewa”. Ketika ia muncul bangsa Arab telah bertahun-tahun terlibat dalam berbagai perang saudara”…..(hal 105 dari “Bonaparte et L’Islam” oleh Cherfils).

Sementara itu Goethe,filsuf Jerman (1794–1832M) berkomentar sebagai  berikut :
Muhammad membangunkan Persia yang sedang tidur, menginsyafkan Rumawi Timur (Byzantium) dan kaum Nasrani di negeri-negeri Timur, agar mereka tidak terus-menerus asyik berdebat dan berpecah-belah akibat filsafat shopites Yunani. Tidak dapat disangkal lagi bahwa para Nabi di dunia ini serupa dengan kekuatan-kekuatan raksasa yang terdapat di alam wujud, yaitu kekuatan-kekuatan yang senantiasa mendatangkan kebajikan bagi umat manusia seperti matahari, hujan dan angin yang menghidupkan tanah kemudian membuat tanah yang tandus dan gersang menjadi penuh dengan tanam-tanaman berwarna hijau. Manusia wajib mengakui kenabian mereka. Tanda-tanda yang membuktikan kebaikan mereka dapat kita lihat dari kenyataan bahwa mereka itu hidup dengan keyakinan, berjiwa tenang dan tentram, bersemangat dan bertekad kuat, tabah dan sabar menghadapi berbagai macam cobaan, tangguh menghadapi kebobrokan mental dan moral masyarakatnya yang pasti akan lenyap bila terus-menerus diberantas dan kehidupan mereka sehari-hari yang tidak putus beribadah dan berdoa…Jika semuanya itu yang diajarkan agama Islam kita semua adalah orang-orang Islam”. (hal 38 dari “Hadhritul ‘Alamil-Islamiy” jilid I oleh Amir Syakib Arslan, dikutip dari pembicaraan antara Goethe dan sang penulis).

Islam menyinari semenanjung Iberia ( Spanyol dan Portugis sekarang) tak sampai 100 tahun setelah wafatnya Rasulullah saw. Bahkan pada tahun 732 M cahaya  Islam nyaris menerangi jantung Eropa di Perancis tengah kalau saja pasukan pimpinan Musa bin Nushair ini tidak dikalahkan pasukan Perancis di Poitier.

Padahal ketika itu Islam telah berhasil menaklukkan salah satu kerajaan adikuasa masa itu yaitu, Persia. Ini terjadi di masa kekhalifahan Umar bin Khattab. Di masa-masa berikutnya melalui para pedagang Islam menyebar ke timur, yaitu India, Cina dan  Indonesia melalui Aceh yang mendapat julukan serambi Mekah. Dan juga ke barat, yaitu pesisir utara Afrika termasuk Mesir, Maroko,Tunisia dan Aljazair. Ketika itu di bawah dinasti Umayah, Damaskus menjadi ibu kota kekhalifahan.

Dari Maroko inilah pasukan Islam masuk ke benua Eropa. Di benua ini selain Spanyol dan Portugal, Islam juga menyiratkan sinarnya ke Perancis selatan dan Italia ( kepulauan Sisilia dan Sardinia). Pada masa kekuasaan Turki Ottoman yang berhasil menaklukkan Istanbul ( Konstantinopel ) yang ketika itu merupakan negara adikuasa ( Romawi timur), negara-negara eropa timur seperti Albania, sebagian Yugoslavia dan Bulgariapun masuk Islam.

Hebatnya lagi, toleransi benar-benar dijunjung tinggi. Tidak ada paksaan masuk Islam. Kaum Nasrani, Yahudi, orang-orang Armenia bahkan orang-orang Zoroasterpun bebas menjalankan ajaran agama mereka. Mereka hanya diwajibkan membayar jiziyah.

“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. (QS. Al-Baqarah(2):256).

Berikut pengakuan Voltaire (1694-1778), penulis legendaris Perancis berikut :
“ ... Saya telah mengunjungi London, Hamburg, Danzig, Venezia. Namun apa yang saya lihat lebih mendidik adalah apa yang terjadi di Konstantinopel. .. Lima puluh tahun yang lalu saya mendapat kehormatan untuk mengikuti  sebuah prosesi pelantikan patriak ( kepala gereja) Yunani oleh Sultan Ahmed III, semoga Tuhan memberkatinya. Sultan menyerahkan sendiri cincin dan tongkat kepada sang pendeta Kristen. … Sungguh menyenangkan saya dapat berkomunikasi secara terbuka di acara tersebut.

Namun sekembali saya ke Marseilles, saya sangat terkejut. Saya tidak menemukan satupun masjid. Saya ungkapkan keterkejutan saya itu kepada Uskup Marseilles. Bila orang-orang Turki saja mau menyediakan gereja bagi orang-orang Kristen mengapa kita tidak ”.

Saya juga beberapa kali menemukan pengakuan cendekiawan barat, diantaranya rektor universitas Madrid, Spanyol. Dengan nada getir ia mengatakan bahwa bila saja pada pertempuran Poitiers pasukan Islam memenangkan pertempuran, tentu masyarakat Eropa saat ini telah mengenal ajaran Islam secara baik.

Saya pikir, Voltaire juga pasti kecewa seandainya ia masih hidup. Betapa tidak, harapannya 2.5 abad lalu ternyata hingga kini tetap tidak terealisasi. Masjid di Perancis benar-benar langka. Bahkan Marseilles yang jumlah muslimnya relative lumayan banyak hingga detik ini umat Islam hanya bisa melaksanakan shalat Jumat di jalan-jalan yang sempit. Masjid besar yang katanya sudah disetujui pemerintah dan pada Idhul Adha bulan april yang baru saja lewat dikabarkan sudah bisa dipakai ternyata bahkan tanahnya saja belum dibebaskan!
Masjid Toulouse
 Masjid Toulouse 1

Masjid Toulouse
Masjid Toulouse 2

Demikian pula di Toulouse. Masjid besar yang tidak sengaja kami lewati beberapa bulan lalu, ternyata sudah 2 tahun terbengkalai. Padahal bila dilihat fisiknya tinggal tahap ‘finishing’ saja. Menurut informasi yang saya dapat, katanya masyarakat sekitar tidak mengizinkannya.

Grande Mosquee de Paris
Grande Mosquee de Paris
Grande Mosquee de Paris (2)
Grande Mosquee de Paris (2)
Saat ini di Perancis masjid yang cukup megah berdiri hanya ada di Paris saja. Beruntung masjid yang dibangun pada tahun 1920 dan diberi nama “ Grande Mosquee de Paris” ini memiliki menara cukup tinggi. Karena belakangan ini Perancis menetapkan peraturan bahwa masjid tidak boleh memiliki menara lebih dari 3 meter. Ini masih ditambah lagi bahwa suara azan tidak boleh terdengar hingga keluar area masjid !!
Belum lagi bila kita bicara soal jilbab dan nikab. Sejak tahun 2004 pemerintah melarang anak sekolah dan pegawai negri mengenakan jilbab di area sekolah dan kantor pemerintahan. Untuk sementara memang masih aman bila kita memakai di jalan umum.

Namun tidak demikian dengan nikab ( penutup muka kecuali mata). Ada peraturan baru bahwa mereka yang mengenakan nikab bakal dikenai sangsi hukum. Saat ini peraturan tersebut masih dalam tahap percobaan.

Sungguh aneh, bukan? Barat yang katanya menjunjung tinggi demokrasi, kebebasan dan toleransi hingga harus menyerang Afganistan dan  Irak karena dianggap tidak demokrasi, nyatanya seperti itu. Yang  katanya menjunjung tinggi keadilan dan HAM, namun ternyata hanya tinggal diam ketika rakyat Palestina diperlakukan semena-mena oleh pemerintah pendudukan Israel.

Hal lain yang cukup menarik adalah bahasa. Kita semua tentu setuju bahwa bahasa adalah hal terpenting dalam melakukan komunikasi. Bagaimana kita dapat berkomunikasi, berinteraksi, bertukar pendapat, menambah wawasan dan pengetahuan tanpa adanya bahasa pemersatu. Bahasa isyarat mungkin bisa tapi hanya dalam batas tertentu saja.

Perancis dan Spanyol adalah negara bertetangga. Namun terlihat jelas bahwa masing-masing ingin mempertahankan bahasanya sendiri-sendiri. Demikian pula  Italia, yang menjadi tetangga  keduanya. Juga Jerman dan Belanda yang merupakan tetangga Perancis. Bahasa Inggris yang selama ini sering di’klaim’ dan meng’klaim’ sebagai bahasa pemersatu, bahasa internasional dalam forum-forum resmi ternyata dalam kehidupan sehari-hari tidak berfungsi. Dapat dibayangkan bagaimana repot dan sulitnya bepergian ke suatu tempat dimana kita tidak dapat berkomunikasi secara baik dengan  penduduknya.

Berbeda dengan ketika Islam berada di puncak kejayaannya. Bahasa Arab menjadi bahasa pemersatu. Jadi bahasa ini tidak hanya digunakan ketika shalat dan membaca ayat-ayat Al-Quran saja namun menjadi bahasa sehari-hari seluruh kekhalifahan Islam yang amat luas itu. Bahasa ini bahkan juga digunakan secara internasional.

Kembali kepada kekalahan Islam di Poitiers pada tahun 732 M. Apa sebenarnya hikmah di balik kekalahan tersebut? Mengapa Allah swt tidak mengizinkan Islam berkembang di jantung Eropa? Mengapa kejayaan Islam di semenanjung Iberia hanya bertahan selama 8 abad saja? Sementara di Indonesia yang relative lebih jauh dari tanah kelahiran Islam bisa tetap bertahan hingga kini ?

Mungkinkah Allah sengaja berbuat demikian agar kita umat Islam Indonesia mendapat kesempatan untuk berdakwah dan memperkenalkan ajaran ini ke benua tersebut? Roma, pusat Kristen yang disebut Rasulullah bakal takluk ke pelukan Islam setelah Konstantinopel hingga saat ini belum juga terealisasi.

Siapkah kita menjalankan tugas mulia ini? Bagaimana caranya? Sulit dan mahalkah? Bukankah berkat izin-Nya tehnologi di dunia maya telah berkembang begitu maju? Mengapa kita tidak memaksimalkannya ?

Janji Allah pasti terjadi, dengan atau tanpa partisipasi kita. Di akhir zaman nanti Islam akan menyinari seluruh bumi Allah yang luas ini. Fenomena ini sebenarnya telah mulai terlihat. Ketakutan barat yang berlebihan bukannya tanpa penyebab. Di setiap kota Eropa yang kami kunjungi hampir selalu terlihat  adanya perempuan berjilbab. Anak-anak usia sekolah walaupun dilarang berjilbab namun begitu keluar sekolah tetap mengenakan jilbabnya. Masjid meskipun dilarang namun sejumlah musholla tetap saja bermuncullan. Bahkan orang yang bersyahadatpun makin hari makin banyak saja.

Akankah kita memanfaatkan kesempatan emas ini?
Wallahu’alam bishawab.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Potret Arab Saudi di Masa Datang: Menghilangkan Jejak Rasulullah?

Natal di Mata Teolog Kristen: Gereja Tak Mengenal Natal

Daftar cowo-cowo terganteng dan Terkaya